Jumat, 03 April 2015


MAKALAH
BIOTEKNOLOGI DARI SEGI ISLAM
“DONOR DAN TRANSPLANTASI ANGGOTA BADAN”







OLEH

NAMA             : RAHMA IRIANI ASLAM
NIM                 : 70100112025
KELAS            : FARMASI A

SAMATA – GOWA
2014






KATA PENGANTAR
بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan makalah Bioteknologi dari Segi Islam ini.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan terutama bagi dosen pembimbing/pengajar yang telah banyak memberikan bantuan baik itu waktu dan pembelajaran yang sangat berharga bagi kami dansangat kami perlukan bimbingannya. Semoga semua bantuan tersebut bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Samata , April  2014

Penulis





DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………….
Kata Pengantar ………..……………………….......................................................
Daftar Isi …………………………………………………………………………..
BAB I Pendahuluan ………………………………………………………………..
A.    Latar Belakang ………………………………………………………
B.     Rumusan Masalah …………………………………………………..
C.     Tujuan ………………………………………………………………….
D.    Manfaat ………………………………………………………………
BAB II Rumusan Masalah ………………………………………………………..
A.    Defenisi Transpalantasi dan Sejarah Awal …………………………..
B.     Macam-Macam Transplantasi ………………………………………..
C.     Tinjauan Hukum Islam ………………………………………………
D.    Analisis Masalah Transplantasi ………………………………………
BAB III Penutup ………………………………………………………………..
A.    Kesimpulan ………………………………………………………….
B.     Saran …………………………………………………………………..
Daftar Pustaka …………………………………………………………………..






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menggunakan kaedah biologi untuk kesejahteraan manusia dikenali dengan bioteknologi. Ia berasal dari dua kata yaitu bio bermakna makhluk hidup dan teknologi pula adalah cara untuk memproduksi atau membuat barang tertentu.Secara sederhana, bioteknologi adalah usaha untuk menghasilkan sesuatu yang baru dengan memanfaatkan mikro organisma tanaman dan haiwan untuk kepentingan ekonomi.
Hal sama dinyatakan oleh European Federation of Biotechnology (1989) bahawa bioteknologi adalah perpaduan ilmu pengetahuan alam dan ilmu rekayasa untuk meningkatkan aplikasi organisma hidup, sel, bahagian organisma hidup dan molekul untuk menghasilkan satu produksi atau jasa.Ertinya, bioteknologi tidak menggunakan unsur kimia dalam memproduksi sesuatu. Sebabnya, ia hanya menggunakan mikro organisma, sel dan molekul benda itu dengan merekayasanya untuk tujuan tertentu. Ia sehingga sel hidup yang ada dalam tumbuhan atau haiwan itu dapat melakukan tugas tertentu yang bermanfaat dengan cara yang dapat dijangka dan dikawal.
Oleh itu, menurut Ratledge (1992) bioteknologi sebenarnya bukanlah setakat ilmu pengetahuan. Ia juga penerapan ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan manusia dan lingkungan. Hal ini bermakna ia adalah perkara praktikal bukan teoritikal.Berdasarkan definisi di atas, maka nenek moyang kita telah melakukan bioteknologi secara tradisional yang mereka sendiri tidak memahami rumusan sainsnya. Sebab pembuatan tempe, cuka, belacan dan dadih sebenarnya melalui proses bioteknologi, walaupun dalam batas dan bentuk yang sangat sederhana.Saintis sependapat bahawa bioteknologi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan lingkungan.
Setiap perkembangan teknologi tentu menimbulkan berbagai implikasi setelah di terapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Menghadapi hal ini, Islam sebagai agama samawi yang paling paripurna di tuntut untuk memberikan jawaban dan solusinya bagi sebesar-besar kemashlahatan umat di mana pun mereka berada.
Salah satu bentuk kemajuan ilmu dan teknologi adalah bidang kesehatan dan kedokteran modern. Dalam bidang ini berbagai masalah medis timbul dan dibicarakan, seperti abortus, bayi tabung, euthanasia, transplantasi, operasi ganti kelamin, dan lain-lain. Hal-hal tersebut yang merupakan efek langsung dari kemajuan ilmu dan teknologi dalam bidang kesehatan dan kedokteran tidak dipungkiri akan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Namun, kemajuan tersebut, pada saat yang sama, juga akan memberikan dampak negatif yang cukup mencemaskan bagi kehidupan manusia itu sendiri. Masalah kemajuan bioteknologi dalam berbagai aspek di atas, karena itu, dipastikan mengundang pemikiran, diskusi, dan perdebatan di kalangan para ahli dari sudut hukum dan agama, utamanya agama Islam.[1]
Berbagai permasalahan di atas, semakin rumit lagi keadaannya setelah nyata tidak ditemukannya dasar yang pasti dan tegas dari al-Qur’an dan al-Hadits. Permasalahan di atas, dengan demikian, digolongkan sebagai masalah ijtihadiyyat di mana manusia diberi kesempatan untuk mencoba menyingkap hukumnya.
Ijtihad, didefinisikan sebagai usaha menemukan hukum terhadap permasalahan yang timbul yang tidak tegas hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, dengan cara membuka jalan diskusi secara logis dan bermanfaat dengan mendasarkan pemikiran pada akal sehat dan kemashlahatan umat dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam. Ijtihad tetap terbuka bagi semua masalah, tetapi tidak untuk semua orang; ia terbuka hanya untuk mereka yang memiliki keahlian dalam bidang hukum Islam.
Dalam sajian yang berikut ini penulis, sebagai orang yang tengah menekuni bidang farmasi, namun mencoba untuk sedikit menawarkan kontribusi pemikiran yang terbatas ihwal donor dan transplantasi anggota badan ---sesuai judul--- dengan mengacu kepada pemikiran-pemikiran yang ada tentang masalah ini dan elaborasi penulis. Sebuah pemikiran yang tentunya tidak baru dan jauh dari kesempurnaan; namun, sedikitnya dapat menambah khazanah keilmuan dan wawasan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang tepat untuk makalah ini, yaitu:
1.      Apa pengertian dari transplantasi dan bagaimanakah sejarah awal dilakukannya transplantasi organ ?
2.      Jelaskan macam-macam transplantasi !
3.      Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang transplantasi anggota badan ?
4.      Bagaimana analisis masalah transplantasi dalam perspektif Mashlahat ?
C.    Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas dosen bioteknologi farmasi. Selain itu, makalah ini juga dapat dijadikan referensi bagi pembaca.
D.    Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini yaitu, dapat dijadikan referensi atau bacaan untuk mengetahui bioteknologi dari segi Islam dikhususkan pada donor dan transplantasi organ tubuh



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah dan Pengertian Transplantasi
Masalah transplantasi dalam dunia kedokteran, sebenarnya telah memiliki akar sejarah yang cukup panjang; namun, tinglkat kemajuan yang dicapai dalam bidang ini baru terwujud pada kurun waktu belakangan sejalan dengan tingkat kemajuan dalam bidang kesehatan dan kedokteran. Gambaran hal ini, secara historis, dapat terbukti dengan telah ditemukannya sebuah manuscrip di Mesir yang memuat uraian tentang percobaan-percobaan transplantasi jaringan, pada kurang lebih 2000 tahun sebelum masehi. Di India, seorang ahli bedah zaman lampau pun dinyatakan telah berhasil memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan mentransplantasikan sebagian kulit dan jaringan lemak dari lengannya.[2]
Pada tahun 1957 seorang ahli bedah Italia bernama Gaspore Tagliacosi telah mencoba memperbaiki cacat pada hidung seseorang dengan menggunakan kulit milik kawannya. Kemudian, pada tahun 1902 E. Ulman, seorang ahli bedah Jerman, dan diikuti setahun kemudian oleh Claude Back, seorang ahli bedah Amerika, keduanya telah berhasil mentransplantasikan ginjal yang berasal dari ginjal saudara kembarnya;[3] dan masih banyak lagi penelitian-penelitian, percobaan-percobaan, dan praktik transplantasi lainnya yang telah berhasil dalam pelaksanaannya. Semua itu menunjukkan bahwa masalah transplantasi organ tubuh pada hakekatnya telah lama mendapat perhatian dunia medis untuk kemashlahatan umat manusia.
Mengenai pengertian transplantasi, beragam pandangan para ahli telah menmgemuka dalam banyak literatur, baik secara etimologis maupun terminologis. Beberapa pengertian dimaksud dapat diidentifikasi sebagai berikut: 
1.      Menurut Van Houve, transplantasi berasal dari kata  transplant  ataugraft,  yang berarti jaringan atau alat tubuh yang dipindah. Term tersebut, demikian Van Houve, didefinisikan dengan pemindahan atau pencangkokan jaringan atau alat tubuh dari seorang individu ke tempat lain atau ke tempat individu lain.[4]
2.      Drs. Peter Salim berpendapat bahwa transplantasi adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh dari satu individu ke bagian individu lain, seperti transplantasi ginjal.[5]
3.      Pendapat lain tentang pengertian transplantasi, dinyatakan oleh Drs. H. Masjfuk Zuhdi, yaitu: pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.[6] 
4.      Dalam keputusan muktamar Muhammadiyah I di Yogyakarta disebutkan bahwa transplantasi berasal dari bahasa Inggris, to transplant, yang berarti to move from one place to another:memindahkan dari satu tempat ke tempat lain.[7]
5.      Menurut Forum Studi Islam Kedokteran Yogyakarta, transplantasi adalah penggantian organ atau jaringan tubuh yang fungsinya sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan organ atau jaringan sehat yang berasal dari orang lain atau tubuh sendiri.[8]
Demikianlah beberapa pengertian tentang transplantasi yang dapat penulis kemukakan. Memperhatikan semua pendapat para ahli tersebut di atas, transplantasi dapat dibedakan menjadi transplantasi jaringan dan transplantasi organ. Jaringan dimaksud adalah berupa kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama-sama mempunyai fungsi tertentu, seperti kornea mata; sedangkan organ adalah kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan suatu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti ginjal, jantung, hati, dan lain sebagainya.
B.     Macam – Macam Transplantasi
Dilihat dari segi hubungan antara pemberi jaringan atau organ (disebut donor) yang ditransplantasikan kepada orang yang menerima pindahan jaringan atau organ tersebut (disebut resipien), transplantasi dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam pencangkokan, yaitu:
1.      Auto transplantasi atau autograft, yaitu transplantasi di mana donor dan resipiennya satu individu. Seperti transplantasi yang dilakukan pada seseorang yang cacat pipi atau hidung atau berbibir sumbing, dalam mana proses transplantasi ditempuh dengan jalan mengambil daging tertentu dari bagian badannya sendiri yang dipandang memenuhi syarat. Transplantasi jenis ini pada umumnya berupa pencangkokan kulit, saluran darah atau saraf.
Dalam proses transplantasi jenis ini secara umumnya tidak terlalu banyak problem, baik itu terhadap resipiennya atu donornya, oleh karena masih dalam siklus tubuhnya sendiri.
2.      Homo transplantasi, yaitu transplantasi di mana antara donor dan resipiennya merupakan suatu individu yang sama jenisnya (manusia dengan manusia atau hewan dengan hewan), baik masing-masing donor dan resipiennya merupakan individu yang masih hidup maupun antara donor kadaver (mayat) dengan resipien yang masih hidup.
Dalam ungkapan lain dinyatakan bahwa kalau organisme donor itu termasuk dalam spesis yang sama dengan resipiennya, transplantasi tersebut dinamakan homograft, seperti mentransplantasikan jantung dari manusia ke manusia yang lain, atau mencangkokkan ginjal dari anjing mati ke anjing yang hidup.
Pada proses ini dikenal tiga macam kemungkinan, yaitu:
a.       Apabila resipien dan donor adalah saudara yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada jenis ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
b.      Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama di atas, tetapi masih lebih kecil daripada golongan ketiga.
c.       Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Selain dari kemungkinan-kemungkinan di atas, terdapat juga keuntungan-keuntungan yang ada dalam golongan ini, di samping tidak terlalu banyak problema dalam hukum Islam bilamana donor yang dipakai adalah dari golongan kadaver.
3.      Hetero transplantasi, yaitu transplantasi yang donor dan resipiennya terdiri dari dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia.
Pada transplantasi ini hampir selalu banyak reaksi penolakan dan menimbulkan problem dalam hukum Islam. Hal itu, karena donor tidak diambilkan dari jenis yang sama, bahkan dari hewan yang haram pun kerap kali bisa ditransplantasikan.

C.    Tinjauan Hukum Islam tentang Transplantasi Anggota Badan
Tidak semua persoalan yang timbul dalam kehidupan komunitas (umat) manusia ini ditunjuk secara tegas hukumnya oleh teks wahyu (al-Qur’an dan al-Sunnah). Namun, bukan berarti hukum Islam tidak memiliki jalan untuk merespons kompleksitas masalah yang terjadi. Pasalnya, di luar wahyu, penalaran terhadap berbagai persoalan yang menuntut jawaban hukum, wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Mengabaikan hal ini, bukan saja melemahkan syari’at Islam, tapi juga akan menimbulkan kesulitan dalam kehidupan masyarakat Islam itu sendiri.
Penalaran mengenai berbagai masalah yang tidak ditunjuk kepastian hukumnya oleh teks wahyu demikian ini dikenal dalam konstelasi hukum Islam dengan istilah ijtihad. Dalam berijtihad aktualisasi ra’yu sebagai media untuk menyingkap hukum bagi semua persoalan yang tidak tegas hukumnya melalui nash, mutlak diperlukan. Ijtihad dengan ra’yu demikian ini ditempuh dengan menggunakan metode qiyâs, ihtihsân, istishlâh atau lainnya. Karena itu, ijtihad ini ---menurut Salâm Madkûr--- disebut dan dikelompokkan ke dalam ijtihâd qiyâsi dan ijtihad istishlâhiy.
Dalam penjelasannya, Salâm Madkûr mengatakan bahwa ijtihâd qiyâsiy adalah upaya seorang mujtahid dalam mencurahkan kemampuannya untuk mencapai hukum yang tidak ditunjuk oleh nash qat’iyatau zhanniy dan tidak juga dijelaskan dalam ijma’ terdahulu sebelumnya. Hal ini, lanjutnya, ditempuh melalui qiyâs dan ihtihsân yang memang ditempatkan oleh al-Syâri’ sebagai media penunjuk untuk itu. Sedang ijtihâd istishlâhiy adalah kesungguhan yang diupayakan oleh seorang mujtahid untuk mencapai hukum syar’iy dengan cara mengimplementasikan kaedah-kaedah umum. Hal ini berlaku dalam hal yang bisa dicapai dengan kaedah-kaedah dan nash yang bersifat kulliy yang tidak ditunjuk langsung oleh nashyang sifatnya khusus dan tidak juga dijelaskan oleh ijma’ sebelumnya serta tidak bisa dicapai dengan qiyâs dan istihsân. Ia tidak bisa ditetapkan semata-mata untuk tujuan mengambil mashlahat dan menolak kerusakan (bahaya), sesuai tuntutan kaedah-kaedah syara’. Ijtihâd qiyâsiy dan istishlâhiy ini, menurutnya, merupakan ruang bagi terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Kategorisasi yang sama, juga diungkapkan oleh Ma’ruf al-Duwalibiy, sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya, ijtihad qiyâsiyadalah ijtihad yang dilakukan guna menciptakan (wadhâ) hukum syara’ bagi persoalan yang terjadi yang tidak ditegaskan hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah melalui analogi hukum yang telah diciptakan oleh nash.Sementara ijtihad istishlâhiy menurutnya menciptakan hukum tersebut dengan ra’yu yang didasarkan atas kaedah istishlâh.
Selanjutnya, kedua macam ijtihad ini (qiyâsiy dan istishlâhiy) dapat bersinerji untuk dijadikan sebagai media dalam menyingkap hukum bagi ragam persoalan di luar nash, termasuk masalah transplantasi yang menjadi tema bahasan dalam masalah ini.
Dikatakan bersinerji oleh karena di dalam qiyâs terdapat ‘illat yang merupakan komponen terpenting dan menjadi fokus utama pembicaraan para ulama seputar qiyâs. Hal ini, karena ia (‘illat itu) yang merupakan tambahan hukum dan dengannya pula hukum dapat direntangkan. Oleh sebab itu, dalam hal suatu ‘illat tidak dapat diketahui oleh akal, maka terhentilah qiyâs. Itulah sebab mengapa tidak terjadi (tidak dibenarkan) adanya qiyâs dalam poersoalan yang sifatnya devotif (ta’abbudiy), seperti shalat, zakat , dan haji.[18] Pasalnya, dalam hal-hal demikian tidak terbuka peluang bagi ra’yu untuk menyingkap ‘illat-nya. Termasuk ke dalam bagian ini adalah ketentuan mengenai bilangan tertentu dalam hukum Islam (al-Muqaddirât al-Syar’iyyah), seperti bilangan rakaat dalam shalat, nishâb zakat, jumlah putaran dalam thawaf dan sa’i, ketentuan hukum yang terkait pidana seperti 80 kali dera atas penuduh zina (qadzaf) dan 100 kali dera atas pelaku zina, dan lain-lain.
Pembicaraan tentang ‘illat sebenarnya berpangkal pada keyakinan yang kuat bahwa ditetapkannya hukum dalam Islam tidak terlepas dari adanya mashlahat bagi umat manusia yang bertumpu pada tercapainya manfaat (kebaikan) dan terhindarnya bahaya (kerusakan/keburukan) dalam kehidupan mereka. Mashlahat inilah yang dikenal dalam wacana pemikiran hukum Islam dengan sebutan maqâshid (tujuan umum disyari’atkannya hukum Islam) yang terhimpun secara induktif ke dalam lima hal pokok: (a) memelihara agama; (b) memelihara jiwa; (c) memelihara akal; (d) memelihara keturunan/kehormatan; dan (e) memelihara harta. Kelimamaqâshid (tujuan) hukum Islam ini oleh al-Syatibiy dikategorikan sebagaimashlahat primer (ضرورية )  yang tidak berubah sepanjang masa,[19]sedang perbuatan manusia dapat berkembang dan berubah-ubah sesuai perubahan waktu, tempat, dan keadaan yang melingkupinya. ‘Illat yang bertumpu atas dasar mashlahat demikian ini bertemu dengan konsepistishlâh.
Istishlâh merupakan terminologi baru di kalangan ushuliyyûn yang digunakan untuk menyelaraskannya dengan penggunaan konsep istihsân. Diduga al-Ghazali adalah satu di antara mereka yang pertama kali mengenalkan istilah ini untuk menyebut penggunaan kaedah mashâlih mursalah sebagai dasar bagi pembinaan hukum.
Dilihat dari segi tingkatannya, mashâlih itu ada yang bersifatdharûriyyat (primer), ada pula yang bersifat hâjiyyat (sekunder); dan ada pula yang sifatnya sebagai pelengkap semata yang disebut: tahsiniyyat. Namun, bila dilihat dari segi penunjukan dalil syar’iy atas mashlahat itu, maka dapat dirinci sesuai macam dalilnya: ada yang berupa dalil juz’iy dan ada pula yang berupa dalil kulliy. Yang dimaksud dengan dalil juz’iy adalah dalil tertentu dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ atau Qiyâs yang menunjuk secara khusus suatu masalah tertentu. Sedang dalil kulliy dimaksud adalah kaedah-kaedah umum atau yang sering disebut dengan kaedah pokok agama yang dihasilkan, pada umumnya, secara induktif dari teks-teks wahyu (nushûsh).
Mashâlih tersebut dilihat dari segi dalil khusus tertentu yang menunjuknya, (a) ada yang mu’tabarah yakni mashlahat yang ditunjuk langsung oleh dalil tertentu secara khusus yang menunjukkan pula adanya pengakuan al-Syâri’ terhadapnya untuk maksud pemeliharaan terhadap kelima mashlahat dharuriyyat di atas, yakni: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta; (b) ada pula yang mulghât yakni mashlahat yang ditunjuk oleh nash tertentu tentang penolakan al-Syâri’ terhadapnya, karena bertentangan dengan maksud al-Syâri’  dari penetapan hukum-Nya. (c) ada pula yang tergolong mursalah, yakni mashlahat yang tidak ditunjuk oleh dalil tertentu secara khusus, baik dari al-Qur’an ataupun al-Sunnah tentang pengakuan al-Syâri’ atau penolakan-Nya terhadapnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa term: mashâlih itu disebutmursalah bilamana tidak ditemukan adanya dalil juz’iy tertentu yang menunjuk tegas adanya pengakuan al-Syâri’ atau penolakan-Nya terhadapnya (mashâlih itu). Namun, tidak ada mashâlih yang sifatnyamursalah bila ia dikaitkan dengan dalil kulliy. Mashâlih, bila terkait dalilkulliy (kaedah-kaedah pokok agama yang sifatnya global) hanya ada dua kemungkinan saja: diterima (diakui) yakni: mu’tabarah atau tertolak secara hukum (agama) yakni: mulghât.
Karena itu, suatu masalah tertentu umpamanya, boleh jadi termasukmashâlih mursalah di satu sisi bila dilihat dari sudut tidak adanya dalil juz’iyyang menetapkan (baca: mengakui)-nya dan tidak pula menolaknya; namun, di saat yang sama, masalah tersebut merupakan mashâlih mu’tabarah dari sudut ketercakupannya ke dalam dalil kulliy yang mengakuinya (tidak adanya pertentangan masalah itu dengannya).

D.    Analisis Masalah Transplantasi dalam Perspektif Mashlahat
Agaknya tepat bila konsep mashlahat diangkat sebagai instrument analitis terhadap ragam masalah yang tidak ditegaskan jawaban hukumnya di dalam nash.
Sebagai uraian terdahulu, tidak satu pun nash al-Qur’an atau al-Hadits yang memberikan ketegasan mengenai perintah atau larangan bagi praktik transplantasi. Global ayat di antaranya hanya menyebut larangan untuk berbuat kerusakan secara umum, menimbulkan kematian atau pengaliran darah, serta merusak organ tubuh. Allah SWT berfirman:
ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة (البقرة: ١٩٥
Artinya: dan janganlah kamu campakkan dirimu ke dalam kebinasaan.  
Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa Islam merupakan agama yang sangat memelihara hidup dan kehidupan manusia di dunia ini. Dalam al-Qur’an dinyatakan:
ومن أحياها فكأنما أحيا الناس جميعا (المائدة: ٣٢).
Artinya: dan siapa saja yang menghidupkan seseorang, maka ia seolah-olah menghidupkan semua manusia.
Islam juga melarang manusia untuk membunuh anak karena takut miskin (Q.S. 6: 151; 17:31), membunuh orang lain tanpa alasan yang benar (Q.S. 25: 68), maupun melakukan bunuh diri (Q.S. 4: 29).
Profesi kedokteran merupakan salah satu ikhtiar manusia untuk memelihara kehidupan dirinya. Berobat merupakan kewajiban setiap muslim yang sakit (H.R. Ahmad), walupun kita yakin bahwa hanya Allah-lah yang menyembuhkan penyakit (Q.S. 26: 80). Di antara produk kemajuan di bidang kedokteran itu adalah transplantasi anggota badan yang merupakan hasil rekayasa ahli kedokteran untuk mengembalikan fungsi jaringan atau organ tubuh yang rusak. Namun, kemajuan yang ada tentu tidak terlepas dari resiko kerugian yang mengancam objek pelakunya, betapa pun aspek manfaat yang didapat cukup mengagumkan.
Demikianlah halnya dengan transplantasi. Ia tidak terlepas dari segi positif yang diharapkan dan bahkan mungkin segi negatif yang tidak diinginkan. Merespons dilema kemanusiaan yang lahir sebagai dampak langsung dari bioteknologi serupa ini, hukum Islam hadir melakukan pertimbangan objektif terhadap frekwensi manfaat dan kemudharatan yang ditimbulkan praktik transplantasi.
Dari segi kemashlahatannya, transplantasi anggota badan paling tidak mendatangkan dua hal:
1.      Bagi resipien, dapat melanjutkan kehidupannya.
2.      Bagi donor, merupakan sarana amal jariyah yang tidak ternilai harganya dan sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. 5: 32 seperti tersebut di atas.
Kecuali itu, dalam proses transplantasi ini sedikitnya juga ada dua kemudharatan, yakni:
1.      Apabila tidak dilakukan transplasi, akan terdapat kemudharatan berupa kematian pada diri calon resipien.
2.      Apabila dilakukan transplantasi, maka terpaksa akan dilakukan operasi yang mungkin akan mendatangkan kemudharatan bagi keduanya (resipien dan donor sekaligus), hanya saja tidak menimbulkan kematian tetapi mengakibatkan cacat. Menurut tinjauan medis, berdasar atas penelitian Barker (1986), bahwa tingkat kematian donor pada waktu operasi adalah 0,05%. Dalam transplantasi ginjal, umpamanya, satu ginjal yang tersisa pada donor akan mengalami hipertrofi konpensasi sehingga fungsi renal akan kembali normal. Komplikasi pada donor yang dilaporkan adalah proteinuri dan hipertensi ringan yang terjadi paling cepat setelah sepuluh tahun.
Dengan memperhatikan adanya kemashlahatan yang terdapat dalam proses transplantasi dan adanya kemudharatan seperti yang tersebut di atas dapat kiranya dikatakan bahwa mashlahat yang ditimbulkan relatif lebih dominan daripada kemudharatan yang terjadi. Lebih dari itu, dengan memperbandingkan sisi kemudharatan yang ada itu terlihat bahwa pada proses transplantasi ini terdapat dua permasalahan yang salah satunya lebih ringan daripada yang lain. Dalam hal ini, apabila ada dua hal kemudharatan yang terjadi, maka kemudharatan yang lebih besar diusahakan hilangnya dengan menempuh mudharat yang lebih kecil resikonya. Dengan kata lain, sesuai dengan kaedah ushuliyyah, hendaknya dipilih salah satu mudharat yang lebih ringan dengan menjauhi atau menghindari akibat yang lebih besar resikonya.                        ارتكاب اخف لضررين)  (    
Berdasar atas pertimbangan seperti di atas, secara umum dapat dinyatakan bahwa transplantasi dibenarkan (mubah) adanya menurut tinjauan hukum Islam.
Lebih jauh Imam besar al-Azhar dalam bukunya: al-Fiqh al-IslamiyMuruatuh Wa Tathawwuratuh menyatakan bahwa dasar pencangkokan organ tubuh manusia antara lain:
1.      Wasiat dengan sebagian anggota tubuh manusia bukanlah termasuk wasiat yang dilarang dalam hukum syara’.
2.      Keinginan seseorang untuk dirinya sendiri dibatasi oleh sesuatu yang tidak menimbulkan bahaya atas dirinya sendiri.
3.      Diperbolehkannya memindahkan sebahagian tubuh (anggotanya) manusia yang masih hidup ke tubuh manusia yang lain dengan beberapa syarat, sebagaimana diperbolehkannya donor darah dari seseorang ke orang lain dengan beberapa syarat, sehingga dokter dengan perkiraannya untuk menggunakan pemindahan ini merupakan suatu usaha yang paling akhir.
4.      Diperbolehkan memotong sebagian dari anggota tubuh mayat apabila si-mayat telah berwasiat sebelum ia meninggal dunia atau dengan kesepakatan (izin) ahli warisnya, atau atas izin orang banyak (masyarakat).
5.      Dilarang menyiksa orang yang sakit dalam keadaan sakarat al-mautdengan menggunakan obat apa pun, selama mendirikan dokter bahwa hal itu tidak mendatangkan manfaat.
Selain itu, DR. H. Yurnalis Uddin dalam bukunya: Islam untuk disiplin Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, menyatakan bahwa ada beberapa panduan Islam untuk pelaksanaan operasi transplantasi antara lain:
1.      Harus ditetapkan oleh satu team ahli bahwa keadaannya memang dharurat, tidak ada cara lain yang diketahui manusia yang sama manfaatnya dan keberhasilannya dengan operasi transplantasi.
2.      Sedapat-dapatnya harus mendapat izin donor dari yang meninggal, selagi ia masih hidup. Namun, jika tidak ada pernyataan seperti itu, maka harus dimintakan izin dari keluarganya atau ahli waris dari yang meninggal itu.
3.      Pengambilan alat tubuh untuk keperluan pencangkokan tersebut hanya dibatasi pada alat tubuh yang benar-benar dibutuhkan. Harus dihindari mengambil alat tubuh atau jaringan yang sebenarnya tidak diperlukan bagi operasi transplantasi.
Sisi lain yang perlu dilihat dalam menyingkap hukum transplantasi anggota badan adalah ‘illat (motivasi) dan tujuan dari pelaksanaan praktik itu.
Apabila tujuan pencangkokan itu adalah sebagai batas terakhir cara pengobatan, sehingga tampak pelaksanaannya dapat menimbulkan mafsadat(kerusakan dan kerugian), maka pencangkokan dapat dikatakan sebagai tindakan dharurat, sehingga dengan demikian hukum pencangkokan yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seorang pasien, adalah mubah hukumnya.
 Pada kasus tertentu, sering sekali pencangkokan dilakukan untuk pengobatan agar cacat jasmani bisa sembuh dan pulih, tetapi tidak sampai menimbulkan kematian, seperti cacat bibir (sumbing), atau kornea mata yang rusak yang menimbulkan kebutaan. Dalam cacat demikian itu, pada kenyataannya, memang berat bagi sipenderita dan secara psikologis besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan mentalnya, terutama bagi anak-anak usia sekolah atau yang berstatus gadis. Dalam kondisi seperti itu, bukan saja pengaruh kejiwaan akibat cacat jasmani yang menjadi beban, tetapi lebih dari itu kelainan jasmani itu sendiri akan membatasi kemampuannya untuk dapat berfungsi secara wajar. Dari kondisi demikian itu dipahami bahwa cacat jasmaniyah dapat mengakibatkan kesehatan jiwa terganggu dan sebaliknya jiwa yang terganggu akan berakibat pula pada gangguan jasmaniyah. Untuk tidak menimbulkan komplikasi cacat jasmaniyah dan rohaniyah, maka pengobatan dengan pencangkokan dapat dikatakan sangat diperlukan.
Desakan kebutuhan pada kasus di atas, secara hukum Islam dapat kiranya digolongkan ke dalam tingkat dharurat juga. Dalam kaedah ushuliyyah dinyatakan:
الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة.[27]
 “Hajat itu menempati posisi dharurat, baik secara umum maupun secara khusus”.
Akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa hukum transplantasi untuk tujuan pengobatan dan menghilangkan cacat badan adalah mubah.
 Di negara-negara yang telah maju teknologinya, didirikan suatu bank mata, dengan tujuan memperoleh mata dari orang yang telah meninggal, untuk kermudian dikirimkan ke dokter mata di mana saja yang memerlukannya untuk menyembuhkan kebutaan. Cornea donor yang segar dapat disimpan dalam lemari es dengan suhu 40 derajat celcius dan dapat dipergunakan untuk transplantasi dalam batas waktu 48 jam sesudah donor meninggal.
Di Indonesia pun berdiri sebuah perkumpulan yang bernama PPMT (Perkumpulam Penyantun Mata Tunanetra), yang berpusat di Jakarta, didirikan pada tanggal 10 Maret 1986, dan cabangnya di Yogyakarta. Adapun usaha kemanusiaan ini bertujuan tiada lain adalah untuk mengangkat seseorang tunanetra kembali kepada keadaan jasmani yang lengkap. Ini berarti membantu melepaskan diri dari ketergantungan sosialnya. Usaha kemanusiaan ini mencerminkan keluhuran budi manusia dalam mengembangkan ilmu dan teknologi.
Kendati tidak terdapat pernyataan tegas dari al-Qur’an dan al-Hadits tentang hukum trasplantasi kornea mata, pada dekade terakhir ini (abad XX) para ahli fiqh telah sepakat memutuskan tentang diperbolehkannya kornea mata untuk ditransplantasikan kepada orang yang membutuhkannya.
Pendapat ini juga dikuatkan lagi dengan pandangan Manna’ al-Qaththan yang menegaskan bahwa transplantasi organ tubuh manusia, baik dari yang sudah mati maupun dari yang masih hidup, asal terdapat pasien yang sangat membutuhkan, sedang pihak donor telah ikhlas untuk memberikannya, maka hukumnya akan menjadi bertahap-tahap. Artinya, dimungkinkan hukumnya mubah, sunnah, dan bahkan wajib. Hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi keuangan pasien yang membutuhkan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa transplantasi dapat ditetapkan hukumnya secara ijtihadiyyah sesuai dengan ‘illat yang ada.




BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Dari uraian yang terdahulu mengenai masalah ini dapat disimpulkan bahwa masalah transplantasi adalah termasuk persoalan ijtihadiyyah. Namun, secara umum, berdasar atas pertimbangan mashlahat yang timbul dari proses transplantasi ini, dapat dinyatakan bahwa hukumnya adalah mubah. Selebihnya, pertimbangan lain dari segi hukum dapat ditetapkan dengan memperhatikan ‘illat dan tujuan dari pelaksanaan trasplantasi itu.Wallahu a’lam bi al-shawab…

B.        Saran
Adapun saran dari makalah ini adalah diharapkan untuk pemakalah selanjutnya dpat mengembangkan isi dari makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Ali Gufron Mukti dan Adi Heru Sutomo (penyunting), Abortus, Bayi Tabung, Euthanasai, Transplantasi Ginjal, dan Operasi Kelamin(Yogyakarta: Aditya Media, 1993), h. X. 

Van Houve, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1986), jld. VI, h. 3614.

Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991), edisi I, h. 1368. 

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah (Jakarta: Mas Agung, 1992), cet. III, h. 84. 
Keputusan Muktamar Tarjih, Bayi Tabung dan Pencangkokan dalam Sorotan Hukum Islam (Yogyakarta: PT. Persatuan, 19980), h. 32. 

Alican, Transplantasi Organ Tubuh (Ilmu Pengetahuan Populer) (Jakarta: Widya Dara, 1988), jld. IX, h. 75. 

Al-Thayyib Khudharî al-Sayyid, Al-Ijtihad Fî Mâ Lâ Nashsha Fîh(Tanpa tempat: Maktabat al-Haramayn, t.t.), juz I, h. 17.

Muhammad Salam Madkur, Ushûl al-Fiqh al-Islamiy TârîkhuhWa Ushuluh Wa Manahij al-Ushuliyyin Fi al-Ahkam Wa al-Adillah (T.tp.: t.pn., 1985), cet. I., h. 344.

Wahbah al-Zuhailî, Ushul al-Fiqh al-Islâmiy (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986), jilid II, cet. ke-1, h. 1041.

Al-Syathibiy, Al-Muwâfaqat Fî Ushul al-Syari’ah (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t.), juz III, h. 63. 

Musthafa Ahmad al-Zarqâ’, Al-Madkhal al-Fiqhiy al-‘Âmm,(Damaskus: Dâr al-Fikr, 1968), juz II, h. 90.

Al-Thayyib al-Sanûsî Ahmad, Al-Istiqrâ’ Wa Atsaruhu Fî al-Qawâ’id al-Ushuliyyah Wa al-Fiqhiyyah (Riyadh: Dâr al-Tadmuriyyah, 2003), cet. I, h. 576. 

Yurnalis Uddin, Islam Untuk Disiplin Ilmu Kedokteran dan Kesehatan (Jakarta: CV. Wirabuana, 1986), cet. I, h. 155. 

‘Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Qalam, 1978), h. 208. 

Rohadi Abdul Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Islam(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. I, h. 92.


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Advertisement

Popular

POPULAR POSTS

Popular Posts

Recent Posts

Facebook Google Plus Instagram Youtube Channel

Text Widget