MAKALAH
BIOTEKNOLOGI
DARI SEGI ISLAM
“DONOR DAN
TRANSPLANTASI ANGGOTA BADAN”
OLEH
NAMA : RAHMA IRIANI ASLAM
NIM : 70100112025
KELAS : FARMASI A
SAMATA – GOWA
2014
KATA
PENGANTAR
بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan makalah Bioteknologi dari Segi Islam ini.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah
memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan terutama
bagi dosen pembimbing/pengajar yang telah banyak memberikan bantuan baik itu waktu dan pembelajaran yang
sangat berharga bagi kami dansangat kami perlukan
bimbingannya. Semoga
semua bantuan tersebut bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Amiin
Yaa Robbal ‘Alamiin.
Samata , April
2014
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul ………………………………………………………………….
Kata
Pengantar ………..……………………….......................................................
Daftar
Isi …………………………………………………………………………..
BAB
I Pendahuluan ………………………………………………………………..
A.
Latar Belakang ………………………………………………………
B.
Rumusan Masalah …………………………………………………..
C.
Tujuan ………………………………………………………………….
D.
Manfaat ………………………………………………………………
BAB
II Rumusan Masalah ………………………………………………………..
A.
Defenisi Transpalantasi dan Sejarah Awal
…………………………..
B.
Macam-Macam Transplantasi
………………………………………..
C.
Tinjauan Hukum Islam ………………………………………………
D.
Analisis Masalah Transplantasi
………………………………………
BAB
III Penutup ………………………………………………………………..
A.
Kesimpulan ………………………………………………………….
B.
Saran …………………………………………………………………..
Daftar
Pustaka …………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menggunakan kaedah biologi untuk
kesejahteraan manusia dikenali dengan bioteknologi. Ia berasal dari dua kata
yaitu bio bermakna makhluk hidup dan teknologi pula adalah cara untuk
memproduksi atau membuat barang tertentu.Secara sederhana, bioteknologi adalah
usaha untuk menghasilkan sesuatu yang baru dengan memanfaatkan mikro organisma
tanaman dan haiwan untuk kepentingan ekonomi.
Hal sama dinyatakan oleh European
Federation of Biotechnology (1989) bahawa bioteknologi adalah perpaduan ilmu
pengetahuan alam dan ilmu rekayasa untuk meningkatkan aplikasi organisma hidup,
sel, bahagian organisma hidup dan molekul untuk menghasilkan satu produksi atau
jasa.Ertinya, bioteknologi tidak menggunakan unsur kimia dalam memproduksi
sesuatu. Sebabnya, ia hanya menggunakan mikro organisma, sel dan molekul benda
itu dengan merekayasanya untuk tujuan tertentu. Ia sehingga sel hidup yang ada
dalam tumbuhan atau haiwan itu dapat melakukan tugas tertentu yang bermanfaat
dengan cara yang dapat dijangka dan dikawal.
Oleh itu, menurut Ratledge (1992)
bioteknologi sebenarnya bukanlah setakat ilmu pengetahuan. Ia juga penerapan
ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan manusia dan lingkungan. Hal ini bermakna ia
adalah perkara praktikal bukan teoritikal.Berdasarkan definisi di atas, maka
nenek moyang kita telah melakukan bioteknologi secara tradisional yang mereka
sendiri tidak memahami rumusan sainsnya. Sebab pembuatan tempe, cuka, belacan
dan dadih sebenarnya melalui proses bioteknologi, walaupun dalam batas dan
bentuk yang sangat sederhana.Saintis sependapat bahawa bioteknologi untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia dan lingkungan.
Setiap perkembangan teknologi tentu menimbulkan
berbagai implikasi setelah di terapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Menghadapi hal ini, Islam sebagai agama samawi yang paling paripurna di tuntut
untuk memberikan jawaban dan solusinya bagi sebesar-besar kemashlahatan umat di
mana pun mereka berada.
Salah satu bentuk kemajuan ilmu dan teknologi
adalah bidang kesehatan dan kedokteran modern. Dalam bidang ini berbagai
masalah medis timbul dan dibicarakan, seperti abortus, bayi tabung, euthanasia,
transplantasi, operasi ganti kelamin, dan lain-lain. Hal-hal tersebut yang
merupakan efek langsung dari kemajuan ilmu dan teknologi dalam bidang kesehatan
dan kedokteran tidak dipungkiri akan memberikan manfaat yang besar bagi
kehidupan manusia. Namun, kemajuan tersebut, pada saat yang sama, juga akan
memberikan dampak negatif yang cukup mencemaskan bagi kehidupan manusia itu
sendiri. Masalah kemajuan bioteknologi dalam berbagai aspek di atas, karena
itu, dipastikan mengundang pemikiran, diskusi, dan perdebatan di kalangan para
ahli dari sudut hukum dan agama, utamanya agama Islam.[1]
Berbagai permasalahan di atas, semakin rumit lagi
keadaannya setelah nyata tidak ditemukannya dasar yang pasti dan tegas dari
al-Qur’an dan al-Hadits. Permasalahan di atas, dengan demikian, digolongkan
sebagai masalah ijtihadiyyat di mana manusia diberi kesempatan
untuk mencoba menyingkap hukumnya.
Ijtihad, didefinisikan sebagai usaha menemukan
hukum terhadap permasalahan yang timbul yang tidak tegas hukumnya di dalam
al-Qur’an dan al-Hadits, dengan cara membuka jalan diskusi secara logis dan
bermanfaat dengan mendasarkan pemikiran pada akal sehat dan kemashlahatan umat
dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam. Ijtihad tetap
terbuka bagi semua masalah, tetapi tidak untuk semua orang; ia terbuka hanya
untuk mereka yang memiliki keahlian dalam bidang hukum Islam.
Dalam sajian yang berikut ini penulis, sebagai
orang yang tengah menekuni bidang farmasi, namun mencoba untuk sedikit
menawarkan kontribusi pemikiran yang terbatas ihwal donor dan transplantasi
anggota badan ---sesuai judul--- dengan mengacu kepada pemikiran-pemikiran yang
ada tentang masalah ini dan elaborasi penulis. Sebuah pemikiran yang tentunya
tidak baru dan jauh dari kesempurnaan; namun, sedikitnya dapat menambah
khazanah keilmuan dan wawasan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
yang tepat untuk makalah ini, yaitu:
1.
Apa pengertian
dari transplantasi dan bagaimanakah sejarah awal dilakukannya transplantasi
organ ?
2.
Jelaskan
macam-macam transplantasi !
3.
Bagaimana
tinjauan hukum Islam tentang transplantasi anggota badan ?
4.
Bagaimana
analisis masalah transplantasi dalam perspektif Mashlahat ?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini yaitu untuk
memenuhi tugas dosen bioteknologi farmasi. Selain itu, makalah ini juga dapat
dijadikan referensi bagi pembaca.
D.
Manfaat
Adapun
manfaat dari makalah ini yaitu, dapat dijadikan referensi atau bacaan untuk
mengetahui bioteknologi dari segi Islam dikhususkan pada donor dan
transplantasi organ tubuh
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Pengertian Transplantasi
Masalah transplantasi dalam dunia kedokteran,
sebenarnya telah memiliki akar sejarah yang cukup panjang; namun, tinglkat
kemajuan yang dicapai dalam bidang ini baru terwujud pada kurun waktu
belakangan sejalan dengan tingkat kemajuan dalam bidang kesehatan dan
kedokteran. Gambaran hal ini, secara historis, dapat terbukti dengan telah
ditemukannya sebuah manuscrip di Mesir yang memuat uraian tentang
percobaan-percobaan transplantasi jaringan, pada kurang lebih 2000 tahun
sebelum masehi. Di India, seorang ahli bedah zaman lampau pun dinyatakan telah
berhasil memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan
mentransplantasikan sebagian kulit dan jaringan lemak dari lengannya.[2]
Pada tahun 1957 seorang ahli bedah Italia bernama
Gaspore Tagliacosi telah mencoba memperbaiki cacat pada hidung seseorang dengan
menggunakan kulit milik kawannya. Kemudian, pada tahun 1902 E. Ulman, seorang
ahli bedah Jerman, dan diikuti setahun kemudian oleh Claude Back, seorang ahli
bedah Amerika, keduanya telah berhasil mentransplantasikan ginjal yang berasal
dari ginjal saudara kembarnya;[3] dan masih banyak lagi
penelitian-penelitian, percobaan-percobaan, dan praktik transplantasi lainnya
yang telah berhasil dalam pelaksanaannya. Semua itu menunjukkan bahwa masalah
transplantasi organ tubuh pada hakekatnya telah lama mendapat perhatian dunia
medis untuk kemashlahatan umat manusia.
Mengenai pengertian transplantasi, beragam
pandangan para ahli telah menmgemuka dalam banyak literatur, baik secara
etimologis maupun terminologis. Beberapa pengertian dimaksud dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
1.
Menurut Van
Houve, transplantasi berasal dari kata transplant
ataugraft, yang berarti jaringan atau alat tubuh
yang dipindah. Term tersebut, demikian Van Houve, didefinisikan dengan
pemindahan atau pencangkokan jaringan atau alat tubuh dari seorang individu ke
tempat lain atau ke tempat individu lain.[4]
2.
Drs. Peter
Salim berpendapat bahwa transplantasi adalah pemindahan jaringan atau organ
tubuh dari satu individu ke bagian individu lain, seperti transplantasi ginjal.[5]
3.
Pendapat
lain tentang pengertian transplantasi, dinyatakan oleh Drs. H. Masjfuk Zuhdi,
yaitu: pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang
apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan
hidupnya tidak ada lagi.[6]
4.
Dalam
keputusan muktamar Muhammadiyah I di Yogyakarta disebutkan bahwa transplantasi
berasal dari bahasa Inggris, to
transplant, yang berarti to move from one place to another:memindahkan
dari satu tempat ke tempat lain.[7]
5.
Menurut
Forum Studi Islam Kedokteran Yogyakarta, transplantasi adalah penggantian organ
atau jaringan tubuh yang fungsinya sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan
organ atau jaringan sehat yang berasal dari orang lain atau tubuh sendiri.[8]
Demikianlah
beberapa pengertian tentang transplantasi yang dapat penulis kemukakan.
Memperhatikan semua pendapat para ahli tersebut di atas, transplantasi dapat
dibedakan menjadi transplantasi jaringan dan transplantasi organ. Jaringan
dimaksud adalah berupa kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang
sama-sama mempunyai fungsi tertentu, seperti kornea mata; sedangkan organ
adalah kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan suatu
kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti ginjal, jantung, hati, dan
lain sebagainya.
B.
Macam – Macam Transplantasi
Dilihat dari segi hubungan antara pemberi
jaringan atau organ (disebut donor) yang ditransplantasikan kepada orang yang
menerima pindahan jaringan atau organ tersebut (disebut resipien),
transplantasi dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam pencangkokan, yaitu:
1.
Auto
transplantasi atau autograft, yaitu transplantasi di mana donor dan resipiennya
satu individu. Seperti transplantasi yang dilakukan pada seseorang yang cacat
pipi atau hidung atau berbibir sumbing, dalam mana proses transplantasi
ditempuh dengan jalan mengambil daging tertentu dari bagian badannya sendiri
yang dipandang memenuhi syarat. Transplantasi jenis ini pada umumnya berupa
pencangkokan kulit, saluran darah atau saraf.
Dalam proses transplantasi jenis ini secara
umumnya tidak terlalu banyak problem, baik itu terhadap resipiennya atu
donornya, oleh karena masih dalam siklus tubuhnya sendiri.
2.
Homo
transplantasi, yaitu transplantasi di mana antara donor dan resipiennya
merupakan suatu individu yang sama jenisnya (manusia dengan manusia atau hewan
dengan hewan), baik masing-masing donor dan resipiennya merupakan individu yang
masih hidup maupun antara donor kadaver (mayat) dengan resipien yang masih
hidup.
Dalam ungkapan lain dinyatakan bahwa kalau
organisme donor itu termasuk dalam spesis yang sama dengan resipiennya,
transplantasi tersebut dinamakan homograft, seperti mentransplantasikan jantung
dari manusia ke manusia yang lain, atau mencangkokkan ginjal dari anjing mati
ke anjing yang hidup.
Pada proses ini dikenal tiga macam kemungkinan,
yaitu:
a. Apabila resipien dan donor adalah saudara yang
berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan
reaksi penolakan. Pada jenis ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil
transplantasi pada auto transplantasi.
b. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung
atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini
lebih besar daripada golongan pertama di atas, tetapi masih lebih kecil
daripada golongan ketiga.
c. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang
tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu
menyebabkan reaksi penolakan.
Selain dari kemungkinan-kemungkinan di atas,
terdapat juga keuntungan-keuntungan yang ada dalam golongan ini, di samping
tidak terlalu banyak problema dalam hukum Islam bilamana donor yang dipakai
adalah dari golongan kadaver.
3.
Hetero
transplantasi, yaitu transplantasi yang donor dan resipiennya terdiri dari dua
individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah
hewan sedangkan resipiennya manusia.
Pada transplantasi ini hampir selalu banyak
reaksi penolakan dan menimbulkan problem dalam hukum Islam. Hal itu, karena
donor tidak diambilkan dari jenis yang sama, bahkan dari hewan yang haram pun
kerap kali bisa ditransplantasikan.
C.
Tinjauan Hukum Islam tentang Transplantasi Anggota
Badan
Tidak semua persoalan yang timbul dalam kehidupan
komunitas (umat) manusia ini ditunjuk secara tegas hukumnya oleh teks wahyu
(al-Qur’an dan al-Sunnah). Namun, bukan berarti hukum Islam tidak memiliki
jalan untuk merespons kompleksitas masalah yang terjadi. Pasalnya, di luar
wahyu, penalaran terhadap berbagai persoalan yang menuntut jawaban hukum, wajib
hukumnya untuk dilaksanakan. Mengabaikan hal ini, bukan saja melemahkan
syari’at Islam, tapi juga akan menimbulkan kesulitan dalam kehidupan masyarakat
Islam itu sendiri.
Penalaran mengenai berbagai masalah yang tidak
ditunjuk kepastian hukumnya oleh teks wahyu demikian ini dikenal dalam
konstelasi hukum Islam dengan istilah ijtihad. Dalam berijtihad aktualisasi ra’yu sebagai media untuk menyingkap hukum
bagi semua persoalan yang tidak tegas hukumnya melalui nash, mutlak diperlukan. Ijtihad dengan ra’yu demikian ini ditempuh dengan
menggunakan metode qiyâs, ihtihsân,
istishlâh atau lainnya.
Karena itu, ijtihad ini ---menurut Salâm Madkûr--- disebut dan dikelompokkan ke
dalam ijtihâd qiyâsi dan ijtihad
istishlâhiy.
Dalam penjelasannya, Salâm Madkûr mengatakan
bahwa ijtihâd qiyâsiy adalah upaya seorang mujtahid dalam
mencurahkan kemampuannya untuk mencapai hukum yang tidak ditunjuk oleh nash qat’iyatau zhanniy dan tidak juga dijelaskan dalam ijma’ terdahulu sebelumnya. Hal ini,
lanjutnya, ditempuh melalui qiyâs dan ihtihsân yang memang ditempatkan oleh al-Syâri’ sebagai media penunjuk untuk itu.
Sedang ijtihâd istishlâhiy adalah kesungguhan yang diupayakan
oleh seorang mujtahid untuk mencapai hukum syar’iy dengan cara
mengimplementasikan kaedah-kaedah umum. Hal ini berlaku dalam hal yang bisa
dicapai dengan kaedah-kaedah dan nash yang bersifat kulliy yang tidak ditunjuk langsung oleh nashyang sifatnya khusus dan
tidak juga dijelaskan oleh ijma’ sebelumnya serta tidak bisa dicapai dengan qiyâs dan istihsân. Ia tidak bisa ditetapkan semata-mata
untuk tujuan mengambil mashlahat dan menolak kerusakan (bahaya), sesuai
tuntutan kaedah-kaedah syara’. Ijtihâd
qiyâsiy dan istishlâhiy ini, menurutnya, merupakan ruang
bagi terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Kategorisasi yang sama, juga diungkapkan oleh
Ma’ruf al-Duwalibiy, sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili.
Menurutnya, ijtihad qiyâsiyadalah
ijtihad yang dilakukan guna menciptakan (wadhâ) hukum syara’ bagi persoalan yang
terjadi yang tidak ditegaskan hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah melalui
analogi hukum yang telah diciptakan oleh nash.Sementara ijtihad istishlâhiy menurutnya menciptakan hukum tersebut
dengan ra’yu yang didasarkan atas kaedah istishlâh.
Selanjutnya, kedua macam ijtihad ini (qiyâsiy dan istishlâhiy) dapat
bersinerji untuk dijadikan sebagai media dalam menyingkap hukum bagi ragam
persoalan di luar nash, termasuk masalah transplantasi
yang menjadi tema bahasan dalam masalah ini.
Dikatakan bersinerji oleh karena di dalam qiyâs terdapat ‘illat yang merupakan komponen terpenting dan
menjadi fokus utama pembicaraan para ulama seputar qiyâs. Hal ini, karena ia (‘illat itu) yang merupakan tambahan hukum
dan dengannya pula hukum dapat direntangkan. Oleh sebab itu, dalam hal suatu ‘illat tidak dapat diketahui oleh akal, maka
terhentilah qiyâs. Itulah sebab mengapa tidak terjadi
(tidak dibenarkan) adanya qiyâs dalam poersoalan yang sifatnya devotif
(ta’abbudiy), seperti shalat, zakat , dan haji.[18] Pasalnya, dalam hal-hal demikian tidak
terbuka peluang bagi ra’yu untuk menyingkap ‘illat-nya. Termasuk ke dalam bagian ini adalah
ketentuan mengenai bilangan tertentu dalam hukum Islam (al-Muqaddirât
al-Syar’iyyah), seperti bilangan rakaat dalam shalat, nishâb zakat, jumlah
putaran dalam thawaf dan sa’i, ketentuan hukum yang terkait pidana seperti 80
kali dera atas penuduh zina (qadzaf) dan 100 kali dera atas pelaku zina,
dan lain-lain.
Pembicaraan tentang ‘illat sebenarnya berpangkal pada keyakinan
yang kuat bahwa ditetapkannya hukum dalam Islam tidak terlepas dari adanya mashlahat bagi umat manusia yang bertumpu pada
tercapainya manfaat (kebaikan) dan terhindarnya bahaya (kerusakan/keburukan)
dalam kehidupan mereka. Mashlahat inilah yang dikenal dalam wacana
pemikiran hukum Islam dengan sebutan maqâshid (tujuan umum disyari’atkannya
hukum Islam) yang terhimpun secara induktif ke dalam lima hal pokok: (a)
memelihara agama; (b) memelihara jiwa; (c) memelihara akal; (d) memelihara
keturunan/kehormatan; dan (e) memelihara harta. Kelimamaqâshid (tujuan) hukum Islam ini oleh
al-Syatibiy dikategorikan sebagaimashlahat primer (ضرورية ) yang tidak berubah
sepanjang masa,[19]sedang
perbuatan manusia dapat berkembang dan berubah-ubah sesuai perubahan waktu,
tempat, dan keadaan yang melingkupinya. ‘Illat yang bertumpu atas dasar mashlahat demikian ini bertemu dengan konsepistishlâh.
Istishlâh merupakan terminologi baru di kalangan ushuliyyûn yang digunakan untuk menyelaraskannya
dengan penggunaan konsep istihsân.
Diduga al-Ghazali adalah satu di antara mereka yang pertama kali mengenalkan
istilah ini untuk menyebut penggunaan kaedah mashâlih
mursalah sebagai dasar bagi pembinaan
hukum.
Dilihat dari segi tingkatannya, mashâlih itu ada yang bersifatdharûriyyat (primer), ada pula yang bersifat hâjiyyat (sekunder); dan ada pula yang
sifatnya sebagai pelengkap semata yang disebut: tahsiniyyat. Namun, bila
dilihat dari segi penunjukan dalil syar’iy atas mashlahat itu, maka dapat dirinci sesuai macam
dalilnya: ada yang berupa dalil juz’iy dan ada pula yang berupa dalil kulliy. Yang dimaksud dengan dalil juz’iy adalah dalil tertentu dari al-Qur’an,
al-Sunnah, Ijma’ atau Qiyâs yang menunjuk secara khusus suatu
masalah tertentu. Sedang dalil kulliy dimaksud adalah kaedah-kaedah umum
atau yang sering disebut dengan kaedah pokok agama yang dihasilkan, pada
umumnya, secara induktif dari teks-teks wahyu (nushûsh).
Mashâlih tersebut dilihat dari segi dalil khusus tertentu
yang menunjuknya, (a) ada yang mu’tabarah yakni mashlahat yang ditunjuk langsung oleh dalil
tertentu secara khusus yang menunjukkan pula adanya pengakuan al-Syâri’ terhadapnya untuk maksud pemeliharaan
terhadap kelima mashlahat
dharuriyyat di atas, yakni:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta; (b) ada pula yang mulghât yakni mashlahat yang ditunjuk oleh nash tertentu tentang penolakan al-Syâri’ terhadapnya, karena bertentangan
dengan maksud al-Syâri’
dari penetapan hukum-Nya. (c) ada pula yang tergolong mursalah, yakni mashlahat yang tidak ditunjuk oleh dalil
tertentu secara khusus, baik dari al-Qur’an ataupun al-Sunnah tentang pengakuan al-Syâri’ atau penolakan-Nya terhadapnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa term: mashâlih itu disebutmursalah bilamana tidak ditemukan adanya dalil juz’iy tertentu yang menunjuk tegas adanya
pengakuan al-Syâri’ atau penolakan-Nya terhadapnya (mashâlih itu). Namun, tidak ada mashâlih yang sifatnyamursalah bila ia dikaitkan dengan dalil kulliy. Mashâlih, bila terkait dalilkulliy (kaedah-kaedah pokok agama yang
sifatnya global) hanya ada dua kemungkinan saja: diterima (diakui) yakni: mu’tabarah atau tertolak secara hukum (agama)
yakni: mulghât.
Karena itu, suatu masalah tertentu umpamanya,
boleh jadi termasukmashâlih mursalah di
satu sisi bila dilihat dari sudut tidak adanya dalil juz’iyyang menetapkan (baca:
mengakui)-nya dan tidak pula menolaknya; namun, di saat yang sama, masalah
tersebut merupakan mashâlih
mu’tabarah dari sudut
ketercakupannya ke dalam dalil kulliy yang mengakuinya (tidak adanya
pertentangan masalah itu dengannya).
D.
Analisis Masalah Transplantasi dalam Perspektif Mashlahat
Agaknya tepat bila konsep mashlahat diangkat sebagai instrument analitis terhadap
ragam masalah yang tidak ditegaskan jawaban hukumnya di dalam nash.
Sebagai
uraian terdahulu, tidak satu pun nash al-Qur’an atau al-Hadits yang
memberikan ketegasan mengenai perintah atau larangan bagi praktik
transplantasi. Global ayat di antaranya hanya menyebut larangan untuk berbuat
kerusakan secara umum, menimbulkan kematian atau pengaliran darah, serta
merusak organ tubuh. Allah SWT berfirman:
ولا تلقوا
بأيديكم إلى التهلكة (البقرة: ١٩٥
Artinya:
dan janganlah kamu campakkan dirimu ke dalam kebinasaan.
Namun,
satu hal yang pasti adalah bahwa Islam merupakan agama yang sangat memelihara
hidup dan kehidupan manusia di dunia ini. Dalam al-Qur’an dinyatakan:
ومن أحياها
فكأنما أحيا الناس جميعا (المائدة: ٣٢).
Artinya: dan siapa saja yang menghidupkan
seseorang, maka ia seolah-olah menghidupkan semua manusia.
Islam
juga melarang manusia untuk membunuh anak karena takut miskin (Q.S. 6: 151;
17:31), membunuh orang lain tanpa alasan yang benar (Q.S. 25: 68), maupun
melakukan bunuh diri (Q.S. 4: 29).
Profesi
kedokteran merupakan salah satu ikhtiar manusia untuk memelihara kehidupan
dirinya. Berobat merupakan kewajiban setiap muslim yang sakit (H.R. Ahmad),
walupun kita yakin bahwa hanya Allah-lah yang menyembuhkan penyakit (Q.S. 26:
80). Di antara produk kemajuan di bidang kedokteran itu adalah transplantasi
anggota badan yang merupakan hasil rekayasa ahli kedokteran untuk mengembalikan
fungsi jaringan atau organ tubuh yang rusak. Namun, kemajuan yang ada tentu
tidak terlepas dari resiko kerugian yang mengancam objek pelakunya, betapa pun
aspek manfaat yang didapat cukup mengagumkan.
Demikianlah halnya dengan transplantasi. Ia tidak terlepas
dari segi positif yang diharapkan dan bahkan mungkin segi negatif yang tidak
diinginkan. Merespons dilema kemanusiaan yang lahir sebagai dampak langsung
dari bioteknologi serupa ini, hukum Islam hadir melakukan pertimbangan objektif
terhadap frekwensi manfaat dan kemudharatan yang ditimbulkan praktik
transplantasi.
Dari segi kemashlahatannya,
transplantasi anggota badan paling tidak mendatangkan dua hal:
1.
Bagi
resipien, dapat melanjutkan kehidupannya.
2.
Bagi donor,
merupakan sarana amal jariyah yang tidak ternilai harganya dan sesuai dengan
firman Allah dalam Q.S. 5: 32 seperti tersebut di atas.
Kecuali
itu, dalam proses transplantasi ini sedikitnya juga ada dua kemudharatan,
yakni:
1.
Apabila
tidak dilakukan transplasi, akan terdapat kemudharatan berupa kematian pada
diri calon resipien.
2.
Apabila
dilakukan transplantasi, maka terpaksa akan dilakukan operasi yang mungkin akan
mendatangkan kemudharatan bagi keduanya (resipien dan donor sekaligus), hanya
saja tidak menimbulkan kematian tetapi mengakibatkan cacat. Menurut tinjauan
medis, berdasar atas penelitian Barker (1986), bahwa tingkat kematian donor
pada waktu operasi adalah 0,05%. Dalam transplantasi ginjal, umpamanya, satu
ginjal yang tersisa pada donor akan mengalami hipertrofi konpensasi sehingga
fungsi renal akan kembali normal. Komplikasi pada donor yang dilaporkan adalah proteinuri dan hipertensi ringan yang terjadi
paling cepat setelah sepuluh tahun.
Dengan memperhatikan adanya kemashlahatan yang terdapat dalam proses
transplantasi dan adanya kemudharatan seperti yang tersebut di atas dapat
kiranya dikatakan bahwa mashlahat yang ditimbulkan relatif lebih dominan
daripada kemudharatan yang terjadi. Lebih dari itu, dengan memperbandingkan
sisi kemudharatan yang ada itu terlihat bahwa pada proses transplantasi ini
terdapat dua permasalahan yang salah satunya lebih ringan daripada yang lain.
Dalam hal ini, apabila ada dua hal kemudharatan yang terjadi, maka kemudharatan
yang lebih besar diusahakan hilangnya dengan menempuh mudharat yang lebih kecil
resikonya. Dengan kata lain, sesuai dengan kaedah ushuliyyah, hendaknya dipilih
salah satu mudharat yang lebih ringan dengan menjauhi atau menghindari akibat
yang lebih besar
resikonya. ارتكاب
اخف لضررين) (
Berdasar atas pertimbangan seperti di atas, secara umum dapat
dinyatakan bahwa transplantasi dibenarkan (mubah) adanya menurut tinjauan hukum
Islam.
Lebih jauh Imam besar al-Azhar dalam bukunya: al-Fiqh al-IslamiyMuruatuh Wa Tathawwuratuh menyatakan bahwa dasar pencangkokan
organ tubuh manusia antara lain:
1.
Wasiat
dengan sebagian anggota tubuh manusia bukanlah termasuk wasiat yang dilarang dalam
hukum syara’.
2.
Keinginan
seseorang untuk dirinya sendiri dibatasi oleh sesuatu yang tidak menimbulkan
bahaya atas dirinya sendiri.
3.
Diperbolehkannya
memindahkan sebahagian tubuh (anggotanya) manusia yang masih hidup ke tubuh
manusia yang lain dengan beberapa syarat, sebagaimana diperbolehkannya donor
darah dari seseorang ke orang lain dengan beberapa syarat, sehingga dokter
dengan perkiraannya untuk menggunakan pemindahan ini merupakan suatu usaha yang
paling akhir.
4.
Diperbolehkan
memotong sebagian dari anggota tubuh mayat apabila si-mayat telah berwasiat
sebelum ia meninggal dunia atau dengan kesepakatan (izin) ahli warisnya, atau
atas izin orang banyak (masyarakat).
5.
Dilarang
menyiksa orang yang sakit dalam keadaan sakarat
al-mautdengan menggunakan obat apa pun, selama mendirikan dokter bahwa hal
itu tidak mendatangkan manfaat.
Selain itu, DR. H. Yurnalis Uddin dalam bukunya:
Islam untuk disiplin Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, menyatakan bahwa ada
beberapa panduan Islam untuk pelaksanaan operasi transplantasi antara lain:
1.
Harus
ditetapkan oleh satu team ahli bahwa keadaannya memang dharurat, tidak ada cara
lain yang diketahui manusia yang sama manfaatnya dan keberhasilannya dengan
operasi transplantasi.
2.
Sedapat-dapatnya
harus mendapat izin donor dari yang meninggal, selagi ia masih hidup. Namun,
jika tidak ada pernyataan seperti itu, maka harus dimintakan izin dari
keluarganya atau ahli waris dari yang meninggal itu.
3.
Pengambilan
alat tubuh untuk keperluan pencangkokan tersebut hanya dibatasi pada alat tubuh
yang benar-benar dibutuhkan. Harus dihindari mengambil alat tubuh atau jaringan
yang sebenarnya tidak diperlukan bagi operasi transplantasi.
Sisi lain yang perlu dilihat dalam menyingkap
hukum transplantasi anggota badan adalah ‘illat (motivasi) dan tujuan dari pelaksanaan
praktik itu.
Apabila tujuan pencangkokan itu adalah sebagai
batas terakhir cara pengobatan, sehingga tampak pelaksanaannya dapat menimbulkan mafsadat(kerusakan dan
kerugian), maka pencangkokan dapat dikatakan sebagai tindakan dharurat,
sehingga dengan demikian hukum pencangkokan yang dilakukan untuk menyelamatkan
jiwa seorang pasien, adalah mubah hukumnya.
Pada kasus
tertentu, sering sekali pencangkokan dilakukan untuk pengobatan agar cacat
jasmani bisa sembuh dan pulih, tetapi tidak sampai menimbulkan kematian,
seperti cacat bibir (sumbing), atau kornea mata yang rusak yang menimbulkan
kebutaan. Dalam cacat demikian itu, pada kenyataannya, memang berat bagi
sipenderita dan secara psikologis besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan
mentalnya, terutama bagi anak-anak usia sekolah atau yang berstatus gadis.
Dalam kondisi seperti itu, bukan saja pengaruh kejiwaan akibat cacat jasmani
yang menjadi beban, tetapi lebih dari itu kelainan jasmani itu sendiri akan
membatasi kemampuannya untuk dapat berfungsi secara wajar. Dari kondisi
demikian itu dipahami bahwa cacat jasmaniyah dapat mengakibatkan kesehatan jiwa
terganggu dan sebaliknya jiwa yang terganggu akan berakibat pula pada gangguan
jasmaniyah. Untuk tidak menimbulkan komplikasi cacat jasmaniyah dan rohaniyah,
maka pengobatan dengan pencangkokan dapat dikatakan sangat diperlukan.
Desakan kebutuhan pada kasus di atas, secara
hukum Islam dapat kiranya digolongkan ke dalam tingkat dharurat juga. Dalam
kaedah ushuliyyah dinyatakan:
الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة.[27]
“Hajat itu menempati
posisi dharurat, baik secara umum maupun secara khusus”.
Akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa hukum transplantasi
untuk tujuan pengobatan dan menghilangkan cacat badan adalah mubah.
Di negara-negara yang
telah maju teknologinya, didirikan suatu bank mata, dengan tujuan memperoleh
mata dari orang yang telah meninggal, untuk kermudian dikirimkan ke dokter mata
di mana saja yang memerlukannya untuk menyembuhkan kebutaan. Cornea donor yang
segar dapat disimpan dalam lemari es dengan suhu 40 derajat celcius dan dapat
dipergunakan untuk transplantasi dalam batas waktu 48 jam sesudah donor
meninggal.
Di Indonesia pun berdiri sebuah perkumpulan yang bernama PPMT
(Perkumpulam Penyantun Mata Tunanetra), yang berpusat di Jakarta, didirikan pada tanggal 10
Maret 1986, dan cabangnya di Yogyakarta.
Adapun usaha kemanusiaan ini bertujuan tiada lain adalah untuk mengangkat
seseorang tunanetra kembali kepada keadaan jasmani yang lengkap. Ini berarti
membantu melepaskan diri dari ketergantungan sosialnya. Usaha kemanusiaan ini
mencerminkan keluhuran budi manusia dalam mengembangkan ilmu dan teknologi.
Kendati tidak terdapat pernyataan tegas dari al-Qur’an dan
al-Hadits tentang hukum trasplantasi kornea mata, pada dekade terakhir ini
(abad XX) para ahli fiqh telah sepakat memutuskan tentang diperbolehkannya
kornea mata untuk ditransplantasikan kepada orang yang membutuhkannya.
Pendapat ini juga dikuatkan lagi dengan pandangan Manna’
al-Qaththan yang menegaskan bahwa transplantasi organ tubuh manusia, baik dari
yang sudah mati maupun dari yang masih hidup, asal terdapat pasien yang sangat
membutuhkan, sedang pihak donor telah ikhlas untuk memberikannya, maka hukumnya
akan menjadi bertahap-tahap. Artinya, dimungkinkan hukumnya mubah, sunnah, dan
bahkan wajib. Hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi keuangan pasien
yang membutuhkan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa transplantasi
dapat ditetapkan hukumnya secara ijtihadiyyah sesuai dengan ‘illat yang ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian yang terdahulu mengenai masalah ini
dapat disimpulkan bahwa masalah transplantasi adalah termasuk persoalan
ijtihadiyyah. Namun, secara umum, berdasar atas pertimbangan mashlahat yang timbul dari proses transplantasi
ini, dapat dinyatakan bahwa hukumnya adalah mubah. Selebihnya, pertimbangan
lain dari segi hukum dapat ditetapkan dengan memperhatikan ‘illat dan tujuan dari pelaksanaan
trasplantasi itu.Wallahu a’lam bi al-shawab…
B.
Saran
Adapun saran
dari makalah ini adalah diharapkan untuk pemakalah selanjutnya dpat
mengembangkan isi dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Gufron Mukti dan Adi Heru Sutomo
(penyunting), Abortus, Bayi
Tabung, Euthanasai, Transplantasi Ginjal, dan Operasi Kelamin(Yogyakarta:
Aditya Media, 1993), h. X.
Van Houve, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1986),
jld. VI, h. 3614.
Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press,
1991), edisi I, h. 1368.
Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyyah (Jakarta: Mas
Agung, 1992), cet. III, h. 84.
Keputusan Muktamar Tarjih, Bayi Tabung dan
Pencangkokan dalam Sorotan Hukum Islam (Yogyakarta: PT. Persatuan, 19980), h. 32.
Alican, Transplantasi
Organ Tubuh (Ilmu Pengetahuan
Populer) (Jakarta: Widya Dara, 1988), jld. IX, h. 75.
Al-Thayyib Khudharî al-Sayyid, Al-Ijtihad Fî Mâ Lâ Nashsha
Fîh(Tanpa tempat: Maktabat al-Haramayn, t.t.), juz I, h. 17.
Muhammad Salam Madkur, Ushûl al-Fiqh al-Islamiy TârîkhuhWa Ushuluh Wa Manahij
al-Ushuliyyin Fi al-Ahkam Wa al-Adillah (T.tp.:
t.pn., 1985), cet. I., h. 344.
Wahbah al-Zuhailî, Ushul al-Fiqh al-Islâmiy (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986), jilid
II, cet. ke-1, h. 1041.
Al-Syathibiy, Al-Muwâfaqat
Fî Ushul al-Syari’ah (Beirut:
Dâr al-Ma’rifah, t.t.), juz III, h. 63.
Musthafa Ahmad al-Zarqâ’, Al-Madkhal al-Fiqhiy al-‘Âmm,(Damaskus:
Dâr al-Fikr, 1968), juz II, h. 90.
Al-Thayyib al-Sanûsî Ahmad, Al-Istiqrâ’ Wa Atsaruhu Fî
al-Qawâ’id al-Ushuliyyah Wa al-Fiqhiyyah (Riyadh:
Dâr al-Tadmuriyyah, 2003), cet. I, h. 576.
Yurnalis Uddin, Islam
Untuk Disiplin Ilmu Kedokteran dan Kesehatan (Jakarta:
CV. Wirabuana, 1986), cet. I, h. 155.
‘Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Qalam, 1978), h.
208.
Rohadi Abdul Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Islam(Jakarta:
Bumi Aksara, 1991), cet. I, h. 92.
0 komentar:
Posting Komentar