Rabu, 11 Maret 2015

BUKAN DIRINYA
            Seminggu tlah berlalu sejak kematian sahabat yang selama ini aku sayangi. Perempuan yang selama ini menemani hari-hariku sejak menginjak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Berat rasanya untuk hidup tanpa dia. Berat rasanya menjalani hari-hari tanpa dia. Mungkin ini hanya masalah kebiasaan, selama ini aku hanya selalu bersamanya, jalan bersamanya dan mengerjakan tugas bersamanya.
            Perasaan yang selama ini kupendam untuknya akhirnya harus aku pendam hingga aku mati nanti. Perasaan yang selama ini aku tutupi hanya agar persahabatanku dan dia tak goyah karena perasaan ini.
            “Aku mencintai dan menyayanginya.” Gumamku dalam hati.
            Andaikan waktu bisa diputar kembali, aku sama sekali tak akan menyimpan perasaan ini, setidaknya Ria tau apa yang aku rasakan selama ini terhadapnya sebelum terlambat seperti ini.
            “Dan ? Dana ? ayo pulang. Tidak baik menangisi kepergian Ria seperti ini. Dia tidak akan tenang di alam sana.” Kata Ari.
            “Iyah, Ri.”  Jawabku singkat.
****
Keadaan ini membuatku sadar akan satu hal yang selama ini aku khawatirkan. Aku adalah pecundang yang hanya bisa diam dan membiarkan perasaan ini menyakitiku sendiri. Aku tidak ingin menjadi pecundang lagi yang hanya bisa mengubur perasaannya dan berakhir kejam seperti ini.
“Dana ? Ayo sarapan, nak.” Teriak ibuku.
“Iyah, bu.” Jawabku.
****
Hari ini adalah hari pertama tanpa Ria disekolah. Ekspresi teman-teman melihatkupun berbeda-beda. Ada yang menghiburku, ada yang mengatakan patah hati, ada yang mengatakan kehilangan istri dan ada yang mengatakan aku jodoh yang ditinggal mati layaknya lagu dari Wali.
   “Dan, jangan diam trus lah. Jangan bersedih trus. Biarin Ria tenang di alam sana.” Hibur Ari.
“Aku terlalu berlebihan yah, Ri ?” tanyaku.
“Bukan berlebihan, Dan. Tetapi kamu terlalu menangisi kepergian Ria. Mungkin kamu belum terbiasa. Mulai sekarang, kamu harus mengikhlaskan kepergian dia dan kamu harus ngelanjutin hidup, fokus sama pelajaran di sekolah serta melihat kedepan, Dan.” Hiburnya lagi.
“Kamu kayak Ibunya Ria saja, Ri. Yaudah maaf sudah buat kamu khawatir seperti ini. Aku bakal coba untuk mengikhlaskan dia. Tidak. Aku harus mengikhlaskan kepergian Ria agar dia tenang disana. Betul kan, Ri ?” Kataku.
“Iya, sob. Sekarang kita ke kantin dan kamu harus traktir aku karena kau sudah menghibur kamu. Ok ?” Rayunya.
“Ok.” Jawabku.
****
Tiga bulan telah berlalu sejak kepergian Ria. Aku juga tlah mulai melihat kedepan. Tetapi, seminggu ini, aku melihat seorang gadis yang mirip sekali dengan Ria. Aku menyukai gadis itu, entah karena dia mirip dengan Ria atau apa. Tetapi, kali ini aku tidak akan membiarkan orang yang kusukai meninggalkanku tanpa mengetahui perasaanku terhadapnya.
“Kia, boleh aku bicara sama kamu tidak ? ada yang ingin aku sampaikan ke kamu.” Ajakku pada Kia.
“Apa kak ?” Jawabnya.
“Ikut aja. Ayo ketaman belakang sekolah.” Ajakku lagi.
Akhirnya Kia mengikuti kemauanku dan pada saat itu juga aku mengutarakan perasaanku terhadapnya bahwa aku menyukainya. Hasilnya, Kia menerima perasaanku. Dia juga telah lama memendam perasaan terhadapku sejak dia pindah ke sekolah ini dua minggu yang lalu.
****
“Ria, kamu tau tidak ? aku bertemu orang yang sangat mirip sama kamu. Aku menyukainya sama dengan menyukaimu dulu. Kamu tau tidak ? aku sekarang sudah menjadi kekasihnya. Maaf ya aku baru jenguk kamu hari ini. Hubungan kami sudah berjalan lima bulan lebih dan dia itu sangat mirip sama sikap kamu. Manja, kadang bikin orang jengkel dna sebagainya. Aku menyukainya. Dia sangat mengingatkanku terhadapmu. Doain aku ya semoga aku langgeng sama dia, sama reinkarnasimu.” Ceritaku di makam Ria.
****
Hari ini, Kia datang berkunjung ke rumah. Mau belajar bersama seperti Ria yang dulu lakukan saat masih hidup.
“Masuk, Ki. Ini kamar aku.” Ajakku.
“Iya kak.” Jawabnya.
Entah kenapa wajahnya murung selama proses belajar ini. Aku heran. Setiap kali aku tanya, dia selalu jawab jutek. Setiap kali aku rayu, dia hanya senyum kecut. Beda sama Ria yang segera melumer saat aku rayu.
“Kamu kenapa murung gitu, sayang ?” Rayuku sambil mengelur rambutnya.
“Kok kamu masih pasang foto cewek ini ? dia yang kamu bilang mirip sama aku ? apa aku hanya pelarian dari dia ? karena dia mirip denganku ? aku bukan dia, Dan.” Jawabnya sambil terisak.
“Ini adalah foto sahabat aku, sayang. Dia adalah sahabatku dari aku menginjak sekolah dasar. Aku sayang sama kamu bukan karena kamu mirip sama dia, tetapi aku memang tulus mencintaimu.” Rayuku smabil memeluknya.
Akhirnya dia menerima rayuanku dan dia kembali seperti awal lagi yang tersenyum dan ceria dihadapanku. Disaat itulah ciuman kedua kurasakan setelah ciuman pertama saat bersama Ria kala dia masih hidup.
****
“Ria, kenapa setelah beberapa hari ini aku berpikir, kenapa aku rasa, aku itu orang yang sangat kejam ? kenapa baru sekarang aku berpikir bahwa aku hanya menjadikan dia sebagai pelarian perasaanku terhadapku yang tak kesampaian ? Kenapa baru saat ini aku sadari  saat udah banyak hal yang aku lalui bersamanya, banyak kenangan yang aku tlah lakukan bersamanya. Kenapa Ria ? Kenapa ?” Teriakku sambil terisak di makam Ria.
****
Ini adalah hari dimana hubunganku dan Kia setengah tahun. Selama beberapa minggu ini, kami selalu bertengkar hanya masalah Ria yang sama sekali tidak bisa aku hapus. Kia selalu mengira dia adalah pelaria dan memang iya, aku baru sadar bahwa dia adalah pelampiasan nafsu sesaatku yang mencintai Ria. Aku selalu melihatnya seperti Ria. Aku selalu membandingkannya dengan Ria. Betapa kejamnya aku selama ini dengan dia.
“Happy Aniversary, sayang.” Sambut Kia dengan kue yang dibawa sambil mencium keningku.
“Iyah, sayang.” Jawabku singkat.
“Ada apa sih sayang ? kok wajah kamu lesu ? kamu sakit yah ?” jawabnya selidik.
“Tidak. Aku baik-baik saja. Ada yang ingin aku sampaiin ke kamu sekarang.” Jawabku serius.
Kia akhirnya diam dan mendengarkan setiap bait, setiap kata yang aku utarakan ke dia. Dia hanya bisa nangis, marah dan teriak dihadapanku. Aku salah. Kenapa baru sekarang aku menyadari semuanya dan membiarkan orang yang baik seperti Kia merasakan pelarianku. Kia hanya bisa menangis dan meninggalkanku.
****
Beberapa hari merenung dan memikirkan kesalahan yang selama ini aku buat sepertinya sudah cukup untuk membuatku berpikir jernih lagi. Bantuan dari Ari juga membantuku untuk berpindah dari rasa bersalahku terhadap Kia. Aku harus menata kehidupanku mulai sekarang dan hanya menjadikan Ria sebuah kenangan masa lalu yang pernah mendapatkan hatiku dan Kia sebagai sebuah kesalahan dan pelajaran buatku.
****
Liburan ini aku putuskan untuk ketempat keluarga yang ada di luar daerah. Aku ingin mendapatkan suasana baru yang bisa menenangkan dan menyegarkan pikiranku.
“Hai kak ?” Sapa seorang gadis.
“Hai.” Jawabku.
“kakak, orang baru yah ? soalnya aku baru liat kakak disini.” Tanyanya lagi.
Sejak saat itu aku dengan Lira memulai perkenalan dan akrab. Lira membawaku jalan-jalan keliling kota mereka. Membawaku ke tempat wisata dan sebagainya. Dialah yang menenangkanku sejak disini.
****
“kak, aku boleh bicara ? ada yang ingin aku sampein ke kakak.” Ajaknya
Ini adalah seminggu setelah aku kenalan dengan dia. Senyumnya, manjanya dan rayuannya serta keceriannya sangat membuatku nyaman.
“Iya boleh.” Jawabku.
Ternyata Lira mengungkapkan perasaanya terhadapku. Dia mengatakan jika sejak pertama bertemu dia sudah mulai menyukaiku. Aku sama sekali tidak  tahu, apakah ini bohong atau jujur. Tetapi, saat melihat matanya yang berbinar, aku tidak dapat berpikir lagi. Aku hanya mengatakan iya dan aku menyukainya.
****
Setelah beberapa hari menjalin hubungan dengannya. aku melihatnya bersama lelaki lain. Entah kenapa aku tiba-tiba emosi melihatnya dan tanpa aku sadari aku memaki-maki Lira dan menamparnya.
“Kamu jahat, Dan. Kenapa kamu sama sekali tidak mendengar penjelasanku ?” Tanyanya sambil terisak.
“Penjelasan apalagi ? apa aku buta melihat lelaki itu merangkulmu ?” Jawabku kasar.
Tiba-tiba lelaki yang bersama Lira memukul wajahku. Aku yang tidak terima atas sikapnya itu akhirnya melawan dia dan akhirnya kami berdua bertengkar layaknya lelaki sejati dimana akhirnya aku yang menang.
“Dan, apa-apaan kamu ini ? dia itu sahabatku.” Teriaknya.
“Eh, asal kamu tahu ya. Kamu itu hanya pelarian Lira. Wajah kamu yang ganteng itu mirip dengan calon suami Lira dulu.” Katanya merendahkan.
Sontak jantungku berdebar kencang, pikiranku kosong. Entah kenapa sepertinya boomerang menghantamku keras. Aku hanya bisa mendorong Lira yang seolah-olah meyakinkanku bahwa dia menyukaiku bukan karena aku mirip dengan calon suaminya dulu.
“Aku bukan dia, Lira. Aku bukan calon suami kamu dulu. Jangan anggap aku seperti dia. Kamu tahu ? aku sangat menyayangimu sekarang meskipun kita baru kenal beberapa minggu ini. Aku udah kasi semuanya ke kamu tapi kenapa kamu anggap aku dia ? dia calon suami kamu dulu yang ninggalin kamu hah ? teriakku sambil mendorong dia hingga dia jatuh.
“Tidak Dan. Aku sama sekali tidak menganggapmu sebagai dia. Sumpah Dan.” Jawabnya sambil terisak.
Aku hanya bisa meninggalkan mereka berdua. Disaat aku tlah menyukai seseorang dan membuka hatiku untuk dia malah dia menjadikanku pelarian. Entah ini karma dari yang kubuat dulu atau hanya pelajaran kedua untukku.
****
“Ria, maaf atas sikapku selama ini. Aku akan berubah. Tapi tolong jangan buat aku terpuruk seperti ini dan buatku jadi pelarian seperti ini.” Ceritaku sambil terisak dan tertidur dimakamnya.

Created & Written By Rahma Iriani Aslam
OST : Magneto – Bukan Dirinya.
 


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Advertisement

Popular

POPULAR POSTS

Popular Posts

Recent Posts

Facebook Google Plus Instagram Youtube Channel

Text Widget